HEADLINE NEWS

Patih Jaga Pati dan Raja Hulu Aik Hadiri Ritual Adat Pendirian Pantar/Ponti’/Pantak Padagi



Cybernews.id - Ketapang - Kalbar. 

Patih Jaga Pati Laman Sembilan Domong Sepuluh Kerajaan Hulu Aik, yang juga Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Ketapang, Raden Cendaga Pintu Jaga Banua, Alexander Wilyo, S. STP., M. Si. dan Singa Bansa, Raja Hulu Aik Ke-51 menghadiri ritual adat pendirian pantar/ponti’/pantak padagi, pada hari ke-2 peresmian Balai Kepatihan, di Kompleks Kepatihan Jaga Pati, Jl. S. Parman, Gg. Kelapa Gading No. 21, Ketapang, Jumat (3/5/2024). 


Rangkaian kegiatan peresmian Balai Kepatihan hari ke-2 terlebih dahulu diawali dengan penyambutan Patih Jaga Pati dan Raja Hulu Aik ke-51, serta beberapa tamu VIP dengan ritual adat Kutamaro (penyambutan tamu menurut adat Pesaguan Sekayuk). 


Adat Kutomaro ini diawali dengan ritual membuka pintu Kutomaro. Setelah itu, pemimpin ritual mempersilahkan Patih Jaga Pati untuk membuka pintu Kutomaro. Setelah pintu Kutomaro terbuka, Patih Jaga Pati beserta rombongan pun masuk ke tempat acara, lalu duduk di atas tikar untuk eitual menggigit besi sebagai pengeras semangat, dan dilanjutkan dengan minum tuak sebanyak tiga kali.  Pertama petugas ritual memberikan segelas gerendel tuak; kedua sebanyak semangkok tuak, dan terakhir minum tuak dengan tanduk besar, yang berisi 8 cawan. 


Setelah itu, Raja Hulu Aik ke-51, Patih Jaga Pati dan rombongan disambut lagi dengan adat Ngalu (penyambutan tamu secara adat menurut adat Simpang Sekayok. Pada saat ini, sambil berjalan menuju ke tempat acara, Patih Jaga Pati beserta rombongan disambut oleh ibu-ibu yang berpakaian adat dengan menyuguhkan tuak dengan pamponoh (cawan dari bambu).


Setelah disambut dengan tuak, Patih Jaga Pati beserta rombongan tetus berjalan dengan diiringi musik senggayong (musik bambu) dari Jelai Sekayuk. 


Setiba di tempat acara, Patih beserta rombongan disambut lagi dengan musik dan tari Beganjaq (musik dan tarian belian) dari Kendawangan Siakaran. Patih, Raja, tamu VIP dan para hadirin pun ikut menari mengelilingi arena acara. 


Setelah itu, acara dilanjutkan dengan ritual adat pendirian pantar/ponti’/pantak padagi. Dalam bahasa adat Kayong-Gerunggang-Tayap Hulu, ritual adat penyatuan tanah dan air ini disebut ritual tanah sekopal, aik segungupm. Ritual ini dipimpin oleh HR. Ginsai sebagai Dukun Kepala dari Sekembar, Desa Kayong Tuhe, dan dibantu oleh dukun dan demong di tiga akaran sungai Kayong-Gerunggang-Tayap Hulu. 


Pantar/ponti’/pantak padagi sendiri terbuat dari katu belian/ulin, kayu nomor satu di pulau Borneo. Katu belian/ulin berdiameter sekitar 50 centimeter, sepanjang 4 meter tersebut diukir dengan motif Dayak. Dan di atas pantar/ponti’/pantak padagi dipasang juga logo Kepatihan Jaga Pati. 


Pada saat ritual ini, para perwakilan wilayah Laman Sembilan Domong Sepuluh secara bergiliran mencampur tanah dan air yang dibawa dari masing-masing daerah. Dan pada giliran yang terakhir, Patih Jaga Pati dan Raja Hulu Aik ke-51 pun berksempatan untuk menyatukan tanah dan air dari pancur keramat pancur Raja Hulu Aik. 


Selesai itu, dilanjutkan dengan ritual adat Ancak Tamoyo', ritual adat pendirian tiang pantar (tiang belian yang diukir). Pada saat ini, pemimpin ritual pun bebuang betibar, pocek haras ke Duate Sengiang Petare Pejangge Bukit Tinggi Parong Dalam. Kemudian dilanjutkan ritual pengantongan ancak dan pendirian tiang pantar, bebisau laboh lime bolas matak, membunuh tiang pantar supaya bebas dari marabahaya, dan ritual pengantongan ancak.


Usai ritual pengantongan ancak dilanjutkan dengan pendirian pantar/ponti’/pantak padagi oleh anggota pasukan merah atau TBBR (Tariu Borneo Bangkule Rajakng). 


Ritual adat pendirian pantar/ponti’/pantak padagi dilengkapi dengan ancak, boras kotan, manok burung, tuak tamol, hilim rukuk temiang tebu salah, tamiang tebu salah, sangkubak tohek busi, topong tawar mate kunyet, lumpang tuak ayek, lumpang temerirang atau lumpang pancong, kamot garam boras, cawan danulang kurungan semangat. 


Menurut HR. Ginsai, ritual-ritual tersebut bertujuan  supaya siapapun yang menaiki Balai Kepatihan akan bebas dari segala marabahaya.


Rangkai kegiatan hari kedua peresmian Balai Kepatihan Jaga Pati ini sangat mendapat sambutan baik dari Drs. Yakobus Kumis, MH. (Sekjend MADN), Drs. Heronimus Tanam, ME (Ketua DAD Kabupaten Ketapang) dan para utusan Laman Sembilan Domong Sepuluh, khususnya dari Sanggau dan Kalimantan Tengah. Mereka pun mengapresiasi seluruh rangkaian kegiatannya. 


Dalam sambutannya, Patih Jaga Pati Laman Sembilan Domong Sepuluh, Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas kesediaan  utusan dari Bengkayang, Sanggau, Sekadau, Kapuas Hulu,  Meliau, Kalteng, dan seluruh wilayah Kabupaten Ketapang pada acara adat Menaiki Rumah Agung Jurong Tinggi Balai Kepatihan Laman Sembilan Domong Sepuluh. 


Patih Jaga Pati yakin, kehadiran utusan dari bebagai wilayah Laman Sembilan Domong Sepuluh tersebut hanya karena satu tujuan yang sama, yakni untuk kedaulatan bangsa Dayak. “Karena kita ingin bangsa Dayak ini bersatu, bangsa Dayak ini berdaulat, sejajar dengan suku-suku bangsa lain, yang sudah lebih dulu dari kita,” ujar Patih Alexander Wilyo. 


“Oleh karena itu, saya, Patih Jaga Pati menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya. Semoga Duata Perimbang Alam Bumi Tanah Arai, Tuhan Yang Maha Kuasa, Pencipta Langit dan Bumi senantiasa memberikan kesehatan kepada kita, rezeki yang melimpah, dimudahkan segala urusan, yang berdagang mendapat untung, yang belakau dapat padi, yang bebini dapat anak. Amin,” kata Patih. 


Patih Jaga Pati juga menyampaikan informasi atau penjelasan apa itu Laman Sembilan Domong Sepuluh. Laman Sembilan Domong Sepuluh identik, melekat dengan Kerajaan Hulu Aik. Dulu dikenal dengan Kerajaan Tungkat Rakyat, pemegang dan pewaris satu-satunya pusaka Bosi Koling Tungkat Rakyat, yang dimiliki dan diakui oleh seluruh masyarakat adat Dayak dari wilayah Laman Sembilan Domong Sepuluh, dari Desa Darat Pantai Kapuas, yang meliputi Sekadau, Sanggau, Melawi, bahkan sampai Kapuas, kemudian Labai Lawai, Simpang Sekayok, Laor-Joka, Bihak-Krio, Kayong-Gerunggang, Pesaguan Sekayok, Jelai Sekayok, Kendawangan Sakarn, bahkan sampai Kalimantan Tengah.


“Maka sewajarnya hari ini kita berkumpul untuk menguatkan, meneguhkan kembali semangat kita untuk bersatu; bersatu untuk menegakkan, menjaga adat jalan jamban titi sejak karosik mula tumbuh tanah mula menjadi, yang diwariskan oleh para leluhur kita bangsa Dayak. Karena adat, budaya dan tradisi adalah jati diri. Adat, budaya dan tradisi adalah harga diri kita. Ketika adat, budaya, tradisi itu kita tinggalkan, maka hilang juga harga diri kita sebagai orang Dayak,” tandas Patih Jaga Pati. 


Dan oleh karena itu, ujar Patih, jangan salahkan orang lain yang tidak menghargai kita jika kita sendiri sudah meninggalkan adat, budaya dan tradisi, yang merupakan kebesaran, keagungan, keluhuran yang diwariskan oleh para orangtua kita, leluhur kita -- orang Dayak. 


“Oleh karena itu, saya, Patih Jaga Pati tidak henti-hentinya mengajak kita semua untuk tidak boleh malu mengaku diri kita sebagai orang Dayak. Kita harus bangga menjadi orang Dayak. Agama apapun, seperti di Kalteng, Dayak yang beragama tidak malu mengakui diri sabagai orang Dayak, tetap mengaku diri sebagai Dayak. Mau dia agama Hindu, Budha, Katolik, Kristen, Dayak itu mengalir dalam darah kita, tidak bisa dibuang,” ujar Patih. 


Sabagai Patih Jaga Pati, Alexander Wilyo mengakui karena diberikan amanah oleh para leluhur melalui Raja Singa Bansa untuk menjaga, menegakkan adat jalan jamban titi sejak karosik mula tumbuh tanah mula menjadi. “Tetapi karena ini adalah takdir, adalah panggilan bagi saya; saya siap  melaksanakan amanah ini; meluantkan waktu, tenaga dan pikiran saya untuk orang Dayak,” kata Patih. 


Salah satunya ia buktikan dengan membangun Balai Kepatihan Jaga Pati dengan usahanya sendiri. Semuanya ia dedikasikan untuk kebesaran dan kewibawaan bangsa Dayak. Karena itu, Balai Kepatihan Jaga Pati bukanlah miliknya sendiri, tetapi milik seluruh masyarakat adat Dayak.


“Balai Kepatihan Jaga Pati ini adalah simbol persatuan bangsa Dayak. Seluruh orang Dayak wajib memiliki Balai Kepatihan Jaga Pati ini. Begitu juga, sekuruh bangsa Dayak wajib memiliki Raja Hulu Aik, Petrus Singa Bansa, satu-satunya raja orang Dayak. Beliau adalah satu-satunya raja Dayak yang masih ada, yang masih hidup, masih eksis dengan adat, budaya dan tradisi, bukan istana. Sebab raja Dayak itu orangnya sederhana, bersahaja, tidak seperti raja lain yang kaya-raya. Satu-satunya tugas Raja Hulu Aik sana dengan saya, yakni menjaga adat jalan jamban titi dan pewaris pusaka Bosi Koling Tungkat Rakyat,” tuturnya. 


Oleh karena itu, kata Patih, seluruh orang Dayak harus bersatu menegakkan, menjaga, memelihara, mempertahankan adat jalan jamban titi sejak karosik mula tumbuh tanah mula menjadi. 


Patih Jaga Pati pun menjelaskan bahwa pada acara adat menaiki rumah agung jurung tinggi, dirinya sengaja melibatkan seluruh masyarakat adat Dayak dalam acara adat menaiki rumah agung jurung tinggi, rutual adat Menait Bale tanggal 2 Mei kemarin, melibatkan masyarakat adat Bihak-Krio, Kecamatan Hulu Sungai. Hari ini, mulai dari adat penyambutan, kita menggunakan adat Kutomaro dari Pesaguan Sekayok; dilanjutkan dengan adat Ngalu dari Simpang Sekayok; dilanjutkan sengayong dari Jalai Sekayok; disambut dengan tari Beganjaq dari Kendawangan Sekaran yang merupakan gabungan masyarakat adat Air Upas, Singkup Manis Mata, Marau; dan makan beradat dipersiapkan oleh masyarakat adat Simpang Hulu. Setelah itu begendang, menari, beigal menggunakan tabuhan gendang Kendawangan Seakaran, minum domong dabong, tuak sanokng barujatn dan tuak inas diringi oleh musik dari Laur. Dan pada hari terakhir, tanggal 4 Mei akan dilanjutkan acara resmi, protokoler yang tidak hanya mengundang orang Dayak, tetapi mengundang seluruh etnis, perwakilan paguyuban etnis dari Melayu, Jawa, Madura, Bugis, Flobamora, Tionghoa, dan akan disambut dengan ritual adat Tolak Sekayok, Kecamatan Matan Hilir Utara, dilanjutkan dengan tarian dari Marau, juga akan disambut dengan Silat Kutamara dari etnis Melayu, Madura, Jawa.


“Ini menunjukkan bahwa Kepatihan Jaga Pati ini menaungi, melindungi seluruh masyarakat, seluruh rakyat, tanpa memandang suku dan agama. Karena itu, tujuannya supaya kita bersatu,” kata Patih.


Hal tersebut pun, menurut Patih, sudah disimbolkan dengan ritual menanam pontik atau padagi dan menyatukan tanah arai dari seluruh akaran sungai supaya orang Dayak bersatu, melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan ekonomi, politik dan lain sebagainya karena ketika kita berbicara politik, ekonomi, kita tidak akan bisa bersatu. Yang menyatukan kita adalah adat. Orang Dayak hanya dapat disatukan dengan adat, budaya dan tradisi. 


Pada kesempatan ini, Patih Jaga Pati juga kembali menggaungkan dan menggelegarkan Sumpah Kedaulatan Dayaknya, yakni berdaulat secara budaya, berdaulat secara ekonomi, dan berdaulat secara politik.


“Yang pertama, orang Dayak harus berdaulat secara budaya. Artinya, kita bangga karna kita masih memelihara, masih mempertahankan adat, budaya, dan tradisi, adat jalan jamban titi sejak karosik mula tumbuh tanah mula menjadi, yang diwariskan oleh para leluhur bangsa Dayak. Kalau kita tidak pertahankan, maka hilanglah jati diri kita, hilanglah harga diri kita,” kata Patih. 


“Yang kedua, orang Dayak harus berdaulat secara ekonomi. Artinya kita bisa menikmati semua kekayaan alam yang dilimpahkan oleh Duata Perimbang Alam Bumi Tanah Arai. Tidak ada yang membantah bahwa alam kita ini kaya raya. Kita harus menjadi tuan di tanah sendiri,” tukasnya. 


“Yang ketiga, orang Dayak harus berdaulat secara politik. Artinya, orang Dayak juga harus bisa bersaing dan bisa menjadi pemimpin di tanah kita sendiri. Sekali lagi, saya mendoakan agar seluruh orang Dayak bisa berdaulat secara budaya, berdaulat secara ekonomi, dan berdaulat secara politik,” harap Patih. 


Mengakhiri sambutannya, Patih Jaga Pati pun menyampaikan ucapan terima kasih kepada jajaran Panitia, yang sudah menyiapkan acara demi acara dengan sangat baik; begitu juga kepada seluruh domong mantir yang sudah melaksanakan ritual-ritual adat, baik dari Simpang Sakatok, Laor-Jokak, Bihak-Krio, Kayong Gerunggang, Pesaguan Sekayok, Jelai Sekayok, Kendawangan Seakaran.


“Tidak ada yang dapat saya berikan, selain penghargaan, terima kasih, dan doa yang setulus-tulusnya. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, Duata Perimbang Alam Bumi membalas kebaikan kita semua,” ujar Patih. ( wanto) 

Previous
« Prev Post